Keraton Hadiningrat Yogyakarta sangat identik dengan masyarakat yang mengabdikan diri untuk kerajaan atau yang biasa kita kenal dengan Abdi Dalem. Semua lapisan masyarakat mengabdikan diri di Keraton. Tak terkecuali Abdi Dalem Polowijo, yang semangat mengabdikan diri ditengah keterbatasan. Keterbatasan fisik ini, menjadikan mereka Abdi Dalem yang istimewa. Prajurit kerajaan ini juga dikenal dengan Abdi Dalem “cebongan”. Terlintas seperti konotasi negative, tapi memang Abdi Dalem Polowijo memiliki ukuran tubuh yang berbeda. Mereka bertubuh kerdil, albino, dan bongkok.
Mencoba kembali menyegarkan ingatan setahun yang lalu. Tak pernah terlintas sebelumnya untuk membuat konten seserius ini. Semua berawal dari keinginan untuk meneliti, karena telah menyelesaikan tugas akhir tesis dan banyaknya waktu luang. Bermacam ide untuk konten bermunculan, entah bagaimana sehingga terlintas apakah ada orang yang memiliki kekurangan (difable) yang mengabdikan diri sebagai Abdi Dalem?
Ide konten Abdi Dalem Polowijo
Observasi di Keraton
Dalam proses pencarian Abdi Dalam Polowijo ini tidaklah mulus seperti yang dibayangkan. Tidak semerta-merta datang ke keraton, lalu bisa mengantongi segudang informasi. Tidak. Bak kata anak gaul sekarang “tidak semudah itu ferguzo”.
Hasil pertama observasi dilapanga justru mengejutkan. Tidak ada Abdi Dalem yang mengetahui tentang Abdi Dalem Polowijo. Saya bertanya ke beberapa Abdi Dalem yang bertugas, saya cukup tercengang. Lalu saya diarahkan menuju kantor keraton yang membawahi Abdi Dalem, tapi belum membuahkan hasil dihari pertama.
Observasi berikutnya saya mengagendakan pertemuan dengan pengurus abdi dalem keraton. Saya bertemu dengan KRT.H. Jati Ningrat, S.H, beliau Pengageng Tepas Dwarapura keraton. Melalui beliaulah saya mendapat banyak informasi dan penjelasan lebih dalam mengenai Abdi Dalem Polowijo.
Melalui beliau saya jadi tau, bahwasanya Abdi Dalem Polowijo adalah pendamping kesayangan Raja. Abdi Dalem Polowijo bukan hanya berperan sebagai pengiring Raja akan tetapi sebagai simbol jiwa sosial raja dan dipercaya menambah daya magis. Bagi keraton disimbolkan sebagai penolak bala. Saat upacara kerajaanpun Abdi Dalem ini ditempatkan dibelakang putra mahkota. Jadi, bisa kita simpulkan penting dan istimewanya keberadaan Abdi Dalem Polowijo bagi keraton.

Abdi Dalem Polowijo – Bapak Dipoderpo
Saya mendapatkan informasi salah satu dari tiga Abdi Dalem ini. Beliau adalah Bapak M.B Dipoderpo yang telah mengabdikan diri selama 25 tahun. Saya banyak belajar dari Pak Dipo, beliau yang berumur 65 tahun masih semangat dalam beraktifitas. Pekerjaan sehari-hari sebagai buruh tani dan buruh tebu tidak menyulitkan semangatnya untuk mengabdikan diri. Apalagi, tempat tinggal beliau cukup jauh dari keraton kurang lebih 1,5 Jam. Tepatnya beliau tinggal di Pengkok Patuk Gunung Kidul. Jarak yang cukup jauh ini tentu akan kesulitan mendapatkan kendaraan umum untuk menuju dan kembali dari Keraton. Hal ini pun tak menggentarkan niatnya untuk sampai dan pulang jam 6 pagi dan jam 6 sore setiap 10 hari sekali bertugas di Keraton. Dalam waktu sekali dalam 10 hari beliau bertugas Bengkel Sepuh Regol Gepuro Keraton Yogyakarta.

Pertama kali bertemu dengan Pak Dipo, saya cukup kesulitan berkomunikasi karena terkendala bahasa. Walaupun sudah 3 tahun di Jogja, akan tetapi pengetahuan saya tentang bahasa Jawa sangatlah minim. Beruntung saat itu saya dibantu Abdi Dalem lainnya untuk berkomunikasi.
Kami mengobrol beberapa saat, dan saya menyampaikan keinginan saya, minta izin untuk meliput dan mewawancarai beliau lebih dalam dan jika diperkenankan ingin berkunjung ke rymah beliau. Saya diizinkan untuk berkunjung, mengagendakan jadwal dan mengantongi alamat beliau.
Berkunjung kerumah Pak Dipo

Saya disambut dengan hangat, disuguhkan beberapa cemilan oleh pak Dipo dan istri. Beliau bercerita dahulunya sebelum bekerja sebagai Abdi Dalem Keraton, beliau bekerja sebagai penjual rokok gendong di kawasan Nol KM. Pada saat berjualan rokok gendong lah, ada orang yang menawari beliau untuk menjadi Abdi Dalem 25 tahun yang lalu sampai sekarang.
“dahulu memang ada yang mencari masyarakat bertubuh pendek “cebongan” untuk dijadikan Abdi Dalem”.
Setiap 10 hari sekali beliau berangkat ke keraton dengan menumpang tetangga menuju jalan raya yang berjarak 5 km dari rumahnya. Dari jalan raya beliau menaiki bus antar kota dan berhenti di halte lain untuk pindah rute bus menuju keraton, begitu sebaliknya.

Sekarang di umur beliau yang sudah mulai senja, beliau masih bekerja sebagai buruh tani dan buruh tani tebu. Beliau memiliki satu anak laki-laki yang sekarang bekerja di Kota Jogja sebagai buruh bangunan. Pak Dipo dan istri sangat baik, saya sebagai orang asing disambut sangat hangat. Kami menghabiskan waktu bercerita cukup lama, dan sangat berkesan buat saya.

Terimakasih Pak Dipo, perjuangan dan pengabdian mu sangat menginspirasi saya pribadi dan saya yakin akan menginspirasi teman-teman yang membaca artikel ini.
Terima kasih atas tulisan yang bagus ini.