Sebagai perantau, hal yang saya rindukan saat pulang kampung adalah makan gadang.
Masak bersama dan makan bersama dialasi daun pisang.
Makan gadang, kata “gadang” berarti “besar”. Besar disini bukan dalam segi ukuran tapi dalam segi kebersamaan. Dalam konteksnya makan gadang adalah memasak bersama dan makan bersama diatas wadah yang sama dan dihabiskan secara bersama-sama.
Ahh, saat menuliskan ini saya jadi semakin rindu kampung halaman, rindu kawan-kawan.
La makan gadang wak lai. Apo umpan tu?
Hidangan Lauk Pauk untuk Makan Gadang
Salah satu yang khas dari makan gadang adalah lauk pauknya.
Umpan no goriang sarden balado jo daun pucuak ubi jo goriang cubadak, jariang jan lupo sanak
Saya dan teman-teman biasanya memasak sarden. Karena kegiatan makan gadang sangat jarang kami rencanakan beberapa hari sebelumnya. Selalu mendadak, sekedar berceloteh “bilo makan gadang lai? Lah kini kali” ‘kapan kita makan gadang? ayok sekarang”. Hal yang sakdes saknyet dan persiapan mendadak ini, mungkin secara tidak langsung berpengaruh terhadap lauk pauk yang digunakan. Sehingga kita memanfaatkan hal yang ada dan gampang ditemukan. Seperti pucuk daun singkong dan nangka muda yang gampang ditemui dan diminta ke tetangga, lalu sarden, ikan kaleng yang terjangkau harganya.
Cukup terdengar aneh daun singkong dan nangka muda digoreng, menurut saya inilah cirikhas dari makan gadang. Nangka muda yang dipotong kecil-kecil dan daun singkong yang digoreng sangat jarang ditemui sebagai hidangan untuk keluarga, saya juga tidak tau kenapa. Bukan berarti tidak enak, sangat enak malah. Namun makanan ini hanya sering dijumpai saat acara makan gadang. Bisa jadi ini adalah pemikat kerinduan untuk makan gadang.
Makan Gadang bentuk Gotong Royong dan Kebersamaan
Makan gadang biasanya di lakukan pada sore ataupun malam. Saya dan teman-teman sering mengadakan makan gadang pada malam hari, sambil main “song” kartu remi di depan rumah saya. Mulai dari sore saya sudah mempersiapkan beberapa kebutuhan seperti daun singkong dan nangka muda yang diminta ke tetangga. Lalu teman yang lain datang membawa sarden dan jengkol yang ia beli di warung. Biasanya kita patungan, tapi ada juga yang didanai oleh satu orang, biasanya itu perantau. Untuk keperluan lain seperti beras dan cabe biasaya ada satu orang yang menyumbang atau ambil beras dan cabe ibu saya.
Setelah semua bahan masak terkumpul, kita akan membagi tugas. Ada yang menggiling cabe, memotong bawang, menggoreng, menanak nasi dan mencari daun pisang. Tentunya juga yang bermain gitar untuk menghibur teman-teman yang memasak. Jangan salah, laki-laki yang sering memasak dan menggiling cabe. Iya, justru teman saya yang laki-laki cekatan dalam memasak. Luar biasa memang pemuda Minang ini.
Memasak biasanya dilakukan di halaman depan rumah dengan membawa tungku dapur, perlengkapan memasak dan kayu bakar. Setelah memasak lauk pauk selesai, beberapa pemuda akan mencari daun pisang sebagai alas untuk makan gadang. Daun pisang akan dijejer memanjang. Setelah itu nasi dituangkan diatas daun pisang lalu ditabur lauk pauk di atasnya.
Setelah semua selesai dihidangkan, pemuda pemudi akan mengajak warga sekitar untuk ikut makan bersama-sama. Terkadang warga yang melintas menggunakan kendaraan juga ikut bergabung.
Selama makan gadang, satu sama lain akan berbagi cerita. Hal inilah yang selalu dirindukan ketika pulang ke kampung halaman bagi para perantau, bagi saya khususnya.